Sampah memang menjadi masalah di kota besar di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Sering terjadi konflik antara pemerintah dengan warga
masyarakat yang lokasinya menjadi tempat pembuangan akhir (TPA). Di
negara negara maju seperti Denmark, Swis, Amerika dan Prancis. Mereka
telah memaksimalkan proses pengolahan sampah. Tidak hanya mengatasi bau
busuk saja tapi sudah merobah sampah - sampah ini menjadi energi
listrik. Khusus di Denmark 54 % sampah di robah menjadi energi listrik.
Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi
energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses
thermal yang menghasilkan panas. Perbedaan mendasar di antara keduanya
ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibakar untuk
menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan
generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang
dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk
menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal
Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu
insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah
proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya
sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan
oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H
dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2)
dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang
(S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa
gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator
ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved
air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan
tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan
temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan
terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil
pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char,
dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi
gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak
sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C).
Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat
dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini
menggunakan proses insenerasi. Sampah dibongkar dari truk pengakut
sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar.
Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air
menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin. Sisa
pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari
lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi
pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik
lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000
ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk
menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat
devisa.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara
anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi
konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob.
Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas
methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi
sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester
tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor
sekitar 6500 kJ/Nm3.
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam
tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh
mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair.
Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah
dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang
disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik,
leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di
dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas
yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan
CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan gas methane
(pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor
sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri
dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan
dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem
pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar